MEMPERINGATI Hari Dokter Nasional, kita kembali diingatkan akan berbagai masalah di dunia kesehatan kita. Masalah kekurangan dokter, baik itu dokter umum maupun dokter spesialis menjadi sorotan.
Menteri Kesehatan Budi Gunardi Sadikin mengatakan Indonesia mengalami kekurangan sekitar 160.000 dokter untuk memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Seharusnya, ada satu dokter untuk setiap 1.000 penduduk.
Dengan populasi sekitar 270 juta, dibutuhkan 270.000 dokter. Saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 110.000 dokter.
Rasio dokter per 1.000 penduduk di Indonesia saat ini hanya 0,6, jauh di bawah Malaysia yang memiliki 2,2 dokter dan Thailand dengan 0,95 dokter per 1.000 penduduk. Selain itu, dari 92 fakultas kedokteran (FK) di Indonesia, jumlah dokter yang dihasilkan berkisar antara 12.000 hingga 13.000 setiap tahunnya.
Masih ada banyak puskesmas yang tidak memiliki dokter. Jika tidak ada inovasi dalam sistem pendidikan, Indonesia membutuhkan lebih dari 14 tahun untuk mencapai rasio yang dianjurkan WHO.
Data terbaru dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menunjukkan sampai pertengahan Juli 2022, terdapat 185.547 dokter yang terdaftar dengan Surat Tanda Registrasi (STR). Dengan rincian 142.558 dokter umum dan 43.989 dokter spesialis, yang terbagi dalam 36 spesialisasi. Selain itu, ada 39.738 dokter gigi, yang berarti Indonesia masih kekurangan sekitar 85.000 dokter untuk melayani seluruh populasi.
Untuk mengatasi masalah ini, baru-baru ini dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 02/KB/22 yang bertujuan untuk meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa di Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis, dan menambah program studi spesialis.
Inti dari kesepakatan itu adalah kedua kementerian setuju untuk meningkatkan kuota penerimaan calon dokter dan spesialis serta menambah program studi di beberapa fakultas kedokteran melalui sistem kesehatan akademik (academic health system/AHS). Diharapkan, langkah ini dapat mempercepat peningkatan jumlah dokter dan spesialis setiap tahunnya.
Namun, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Masalah kekurangan dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu dianalisis dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari segi produksi, tetapi juga distribusinya.
Salah satu penyebab utama ketidakseimbangan penyebaran dokter (maladistribusi) adalah tingginya biaya pendidikan kedokteran yang harus ditanggung mahasiswa, serta kurangnya akses bagi calon mahasiswa dari latar belakang ekonomi lemah.
Perencanaan kebutuhan dokter di rumah sakit dan fasilitas kesehatan di daerah belum terkoordinasi dengan baik, terutama di daerah terpencil dan kepulauan.
Biaya pendidikan yang tinggi sering kali menjadi penghalang bagi calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu, sehingga hanya mereka yang berasal dari latar belakang finansial kuat yang bisa mengakses pendidikan dokter. Ini berarti sudah terjadi seleksi awal secara finansial sebelum seleksi akademik. Calon mahasiswa yang berpotensi tetapi tidak didukung kondisi ekonomi yang baik akan sulit untuk masuk fakultas kedokteran tanpa adanya beasiswa.
Pendidikan spesialis juga memerlukan investasi yang besar, dengan biaya mencapai ratusan juta rupiah selama minimal delapan semester (empat tahun). Dengan demikian, sudah ada seleksi finansial yang terjadi sebelum mereka menjadi dokter spesialis.
Dokter yang beruntung adalah mereka yang mendapatkan biaya pendidikan dari instansi tempat mereka bekerja, seperti dokter TNI/Polri, dan mereka biasanya akan kembali ke instansi masing-masing setelah menyelesaikan pendidikan.
Sampai saat ini, perencanaan kebutuhan dokter di seluruh Indonesia masih belum berjalan secara optimal meskipun Kementerian Kesehatan telah menyusun rencana yang baik mengenai kebutuhan sumber daya manusia kesehatan, termasuk dokter dan spesialis. Program bantuan biaya pendidikan untuk dokter spesialis merupakan salah satu langkah untuk mempercepat penambahan jumlah dokter spesialis guna memenuhi kebutuhan nasional.
Saat ini, sebagian besar produksi dokter terfokus untuk memenuhi layanan kesehatan, baik di tingkat primer (dokter umum) maupun lanjutan (dokter spesialis). Namun, dokter, terutama spesialis dan subspesialis, juga sangat diperlukan sebagai tenaga pengajar dan peneliti. Oleh karena itu, peningkatan jumlah dan kualitas dosen sangat penting.
Untuk mengatasi masalah kurangnya produksi sekaligus maladistribusi dokter, diperlukan langkah strategis dan terobosan.
Program afirmasi untuk mahasiswa kedokteran dan bantuan biaya pendidikan untuk spesialis tertentu perlu didorong dan ditingkatkan. Selain itu, pemerintah juga perlu mengawasi dan mengendalikan biaya pendidikan kedokteran agar semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi dokter atau spesialis. (Dinkes/ididkijakarta/Z-3)