KELANGKAAN air yang semakin menjadi perhatian dunia, ternyata turut menjadi penyebab terjadinya kekerasan berbasis gender. Fenomena ini diungkap dalam riset yang dilakukan oleh Binahayati Rusyidi, Dosen Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), berjudul "Gender-Based Water Violence": Cross-Cultural Evidence for Severe Harm Associated With Water Insecurity for Women and Girls.
"Penelitian kita memang menemukan adanya evidence bahwa memang kelangkaan air ini berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Tapi konsep yang ada saat ini memang memfokuskan kepada hanya misalnya Gender Based Violence, sementara kita menemukan konsep baru yang kita populerkan, menjadi Gender Based Water Violence," papar Binahayati Rabu (23/10).
Bersama tim peneliti lintas negara, dirinya berhasil menguak keterkaitan antara kelangkaan air dan kekerasan terhadap perempuan. Khususnya di Sumba Timur, kawasan ini dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami kesulitan akses air.
"Di Sumba Timur, perempuan memikul tanggung jawab besar untuk mencari air, meski jaraknya jauh dan kondisinya berbahaya. Tekanan dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan air, menempatkan perempuan pada risiko tinggi kekerasan, baik fisik maupun psikologis," ungkap Binahayati.
Menurut Binahayti, dalam melakukan penelitian, dia bekerja sama dengan peneliti dari Westminster University, Inggris, Stroma Cole. Gabriela Salmon dari Pontificia Universidad Catolica del Peru dan Paula Tallman dari University of Massachusetts Boston, AS. Penelitian ini sendiri didanai oleh hibah kompetisi International Interdisciplinary Research Grant dari British Academy, Inggris.
"Ini menjadi salah satu studi penting yang menyelidiki bagaimana kelangkaan air memengaruhi kehidupan perempuan, terutama dalam konteks kekerasan berbasis gender," tutur Binahayati.
Binahayati menambahkan, persinggungan yang Kerap terabaikan, kelangkaan air yang melanda berbagai wilayah di dunia, kerap diidentifikasi sebagai penyebab meningkatnya masalah kesehatan dan pangan. Namun, penelitian ini menunjukkan perempuan, yang secara tradisional berperan dalam mengelola air di rumah tangga, menjadi kelompok yang paling terdampak saat air sulit didapatkan.
"Masih belum banyak dibahas karena mungkin berapa puluh tahun yang lalu fokus kita itu lebih kepada developmental issue yang bukan kepada aspek-aspek yang terkait dengan human rights ya jadi saya pikir itu yang juga tidak mudah karena nggak banyak ya yang mau fokus ke sana," ungkap Binahayati.
Penelitian ini lanjut Binahayati, juga menemukan kelangkaan air di Sumba tidak hanya memperburuk kondisi fisik perempuan, tetapi juga memperkuat struktur patriarki yang sudah mengakar. Dalam masyarakat yang masih memegang kuat norma-norma gender tradisional. Perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga, termasuk mencari air.
"Tekanan ini semakin berat ketika akses air semakin sulit. Beberapa perempuan bahkan terpaksa menjual diri demi mendapatkan air bersih untuk keluarganya. Kami melihat di dalam proses mengumpulkan air, membawa air ke rumah dan melakukan pengelolaan air itu bisa menimbulkan resiko kekerasan terhadap perempuan," sambungnya.
Selain itu tambah Binahayati, penelitian ini juga mengungkap adanya masalah ketidaksetaraan kelas yang semakin dalam akibat kelangkaan air. Perempuan dari kelompok sosial yang lebih rendah sering kali dipaksa bekerja sebagai budak atau "hamba sahaya" bagi kelompok yang lebih kaya, dengan tugas utama mereka adalah mencari air.
Untuk merespons krisis ini, penelitian Binahayati dan timnya tidak hanya berfokus pada pemahaman masalah, tetapi juga berusaha menemukan solusi. Melalui Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para korban, tenaga kesehatan, dan tokoh masyarakat, tim ini menggali lebih dalam tentang persepsi masyarakat terhadap kekerasan dan kelangkaan air. Diskusi ini juga bertujuan untuk mencari jalan keluar yang dapat diterapkan oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Salah satu solusi yang diajukan adalah meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam komunitas.
"Kekerasan terhadap perempuan itu bisa banyak ya punya banyak faktor, tapi yang paling utama biasanya bersumber dari ideologi dan struktur yang patriarkis yang menempatkan perempuan pada kelompok subordinat atau kelompok kelas dua," terang Binahayati.
Binahayati mengimbau pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait distribusi air. Distribusi pemerataan itu harus menjadi fokus pemerintah selain juga kita (akademisi) memberikan rekomendasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.