Prabowo, Geopolitik Energi, dan BRICS+

3 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Prabowo, Geopolitik Energi, dan BRICS+ (MI/Seno)

KOMPETISI kontrol transnasional terhadap mineral kritis (critical mineral) kian memanas dengan bertumbuhnya sentimen energi hijau dan digitalisasi. Raksasa industri dari Global North--Tiongkok, AS, dan Eropa--menguasai teknologi, sementara SDA terkonsentrasi di Global South. Potensi kemakmuran dunia promosi 'praktik neo-liberalism' terbentur dengan nasionalisme SDA Global South yang berupaya naik kelas menjadi negara maju.

Dari perspektif Indonesia, pertarungan para raksasa itu cekal asa industrialisasi mineral kritis dan SDA lainnya, sirnakan ambisi transisi energi hijau karena terpaksa puas dengan hilirisasi saja. Lantas, bagaimana cara mendukung kemakmuran dunia dan kemajuan yang berimbang?

Indonesia belakangan jadi ujung tombak transisi energi hijau disokong oleh tingginya minat akan teknologi dekarbonisasi, terutama kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan. Nikel, tembaga, dan timah vital peranannya dalam ekspansi produksi baterai lithium-ion, jaringan listrik, dan berbagai komponen elektronik.

Meski menguasai 42% cadangan nikel berkualitas tinggi dunia serta mineral kritis lainnya, industrialisasi sektor ini di Indonesia masih tertahan. Walaupun ada keuntungan dari nasionalisasi dan pembangunan smelter, Indonesia hanya menghasilkan produk setengah jadi dan pasar utamanya hanya Tiongkok. Dengan 90% smelter didanai oleh Tiongkok, ketergantungan itu jadi titik lemah yang belenggu potensi keuntungan dan penurunan harga nikel membuat operasinya merugi.

Hindari gaya OPEC+

Menentang monopolisasi mineral kritis Global North dan Tiongkok, Indonesia berupaya membentuk institusi ala OPEC+, mungkin dengan dukungan Rusia. Strategi itu santer diviralkan Presiden Jokowi dan Menteri BKPM Bahlil Lahadalia dalam KTT G-7 dan G-20. Namun, langkah itu berisiko memicu boikot dari AS/Barat yang menudingnya sebagai kartelisasi rantai pasok.

Sejarah OPEC+ telah menunjukkan bahwa kartel semacam itu rentan terhadap konflik kepentingan dan intervensi eksternal jika ingin sukses upaya renaissance mineral ini perlu disesuaikan dengan karakteristik pasar komoditas.

Adapun persepsi positif terhadap OPEC+ sebagai kartel migas pengendali pasar/krisis minyak 1970-an kini semakin usang. Kontrol OPEC+ melemah karena dua faktor utama: pertama, hambatan teknis dan finansial dalam regulasi ekspansi/reduksi kuota produksi secara spontan dan inkosisten.

Fluktuasi kuota produksi menghambat skema investasi finansial jangka panjang dan pengembangan kapasitas cadangan migas berkelanjutan sehingga akibatnya arah regulasi kacau dan mekanisme kontrol harga tidak tercapai dalam jangka pendek dan panjang. Selain itu, kapasitas cadangan berlebih justru meningkatkan risiko intervensi politik dan revolusi, terutama di kawasan Timur Tengah yang rawan instabilitas.

Kedua, kolusi dan insidipliner member OPEC+. Manipulasi kuota dan ekspansi produksi ilegal marak untuk kepentingan finansial dan dominasi regional, terutama antarnegara Timur Tengah yang ekonominya belum terdiversifikasi. Kurangnya kerangka regulasi dan sanksi serta ketiadaan sistem pemantauan menyebabkan rendahnya kepatuhan tehadap alokasi kuota produksi dengan tingkat kepatuhan hanya 29% menurut CATO Institute.

Kelemahan teknis itu menjadikan OPEC+ sebagai model yang tidak sempurna. Model kooperasi eksklusif seperti OPEC+ justru mempertajam polarisasi global dan menghambat koordinasi perdagangan berkelanjutan. Praktik monopolistik itu tidak hanya memicu konfrontasi diplomatik ekstrem, tetapi juga berpotensi mengisolasi sektor industri mineral kritis Indonesia, khususnya nikel, jika diterapkan.

Nasionalisme SDA proporsional

Dalam konteks nasionalisme SDA untuk membentengi sektor mineral kritis, Indonesia harus fleksibel. Belajar dari kebijakan larangan ekspor bauksit 2014, upaya proteksi berlebihan justru hambat foreign direct investment (FDI) masuk dan paksa asing danai pemasok lain (Republik Guinea) dan ciptakan produk alternatif tanpa bauksit.

Betul Indonesia untung besar dari hilirisasi Nikel bantuan Tiongkok. Namun, kalau ingin berdaulat ekonomi dan energi jangka panjang, visi keberlanjutan lingkungan harus jadi prioritas selanjutnya. Nikel memang kunci dekarbonisasi, tapi overeksploitasi dan standar smelter rendah justru menciptakan paradoks hijau--merusak lingkungan atas nama energi bersih.

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat setidaknya 3.331 hektare lahan terdeforestasi hanya di Halmahera dan berkontribusi pada emisi 2,04 juta ton gas rumah kaca. Skala kerusakan itu jauh lebih besar jika dilihat secara nasional. Selain itu, pencemaran ekosistem dan kualitas air akibat manajemen limbah tambang yang sembarangan juga marak. Akibatnya, hal itu mengancam ketahanan pangan dan menimbulkan masalah kesehatan penduduk lokal. Kelonggaran standar lingkungan dimanfaatkan oleh konsorsium Tiongkok untuk menekan biaya produksi dan menghilangkan pesaing.           

Di sinilah pentingnya diversifikasi mitra investasi sebagai 'polisi lingkungan alami' untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan dalam mematuhi standar lingkungan. Perusahaan AS/Barat dan Rusia memiliki standar environmental, social, and governance (ESG) yang lebih ketat dengan sistem yang transparan dan tebuka pada peluang audit eksternal independen terhadap peforma lingkungan mereka. Keterlibatan mereka menciptakan persaingan pasar yang lebih sehat dan memastikan mekanisme monitoring yang terkontrol dan akuntabel.

BRICS+ sebagai alternatif

Langkah diversifikasi mitra investasi itu juga krusial untuk lepaskan diri dari ketergantungan pada instrumen finansial Tiongkok, yang rentan jadi subjek sanksi AS/Barat. Hal itu memperluas akses ke pasar modal internasional dan alih teknologi/pengetahuan jangka panjang dengan Global North. 

Lebih lanjut langkah itu juga mesti ditopang dengan kooperasi transnasional inklusif seperti BRICS+ yang berfungsi sebagai jembatan persahabatan dan bisnis. Kerangka regulasi perdagangan dan jaringan produsen-konsumen yang terintegrasi dalam BRICS+ dapat memastikan stabilitas rantai pasok hulu-hilir serta mempercepat perdagangan antar anggota. Dengan demikian, pemanfaatan peranan BRICS+ lebih efisien ketimbang menginisiasi kooperasi serupa ala OPEC+ dari nol.

Belajar dari kesalahan OPEC+, kebijakan kuota produksi serupa untuk mineral kritis dalam BRICS+ dapat diterapkan untuk mengontrol pasar dan mencegah overeksploitasi, tetapi periode penyesuaian kuota diperpanjang menjadi dua tahun, memberi kesempatan bagi industri untuk menyesuaikan kapasitas teknis dan finansial. Dengan melibatkan konsumen dalam penentuan kebijakan, itu akan membuat proyeksi arah kebijakan berimbang/nonmonopolistik dan saling menguntungkan.

Jika serius ingin maksimalkan potensi nilai tambah mineral kritis melalui BRICS+, Presiden Prabowo Subianto harus memperkuat mekanisme penegakan alokasi produksi yang transparan dengan sistem pemantauan kuota dan regulasi yang ketat.

Penerapan sanksi tegas bagi pelanggar dan insentif bagi yang patuh akan stabilitas pasar dapat meningkatkan kepercayaan investor jangka panjang. Kepastian hukum dan stabilitas politik ialah kunci untuk keberlanjutan industrialisasi mineral kritis Indonesia dan akselerasi transisi energi hijau serta kemakmuran global.

Read Entire Article