
RAJA Abdullah II dari Yordania membuat sejarah sebagai pemimpin Arab pertama yang bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih sejak dimulainya masa jabatan kedua Trump pada 20 Januari 2025. Pertemuan yang berlangsung pada Selasa ini menempatkan Raja Abdullah dalam posisi yang rumit, mengingat tantangan politik yang dihadapi Yordania terkait dengan rencana Amerika Serikat mengenai Gaza.
Hubungan antara Yordania dan Amerika Serikat telah lama terjalin erat, tetapi selama pertemuan tersebut, Trump berulang kali mendesak Abdullah untuk menerima pengungsi Palestina yang terlantar akibat serangan militer Israel di Gaza sejak Oktober 2023. Sebagai respons terhadap tekanan tersebut, Raja Abdullah berusaha menjaga sikap diplomatis dengan tidak langsung bertentangan dengan Trump, meskipun ia menegaskan posisi Yordania yang menolak rencana pemindahan pengungsi Palestina.
Trump, yang sebelumnya mengusulkan agar Amerika Serikat "mengambil alih" dan "menguasai" Gaza, kembali menekankan gagasan kontroversialnya. Ia menyebut dengan AS mengendalikan wilayah tersebut, stabilitas di Timur Tengah akan tercapai untuk pertama kalinya. Trump mengklaim wilayah Gaza yang kosong akan dipenuhi dengan proyek pembangunan besar-besaran yang menciptakan lapangan pekerjaan di kawasan tersebut.
Namun, baik Yordania maupun Mesir menanggapi rencana ini dengan penolakan, menyatakan mereka tidak akan menerima pengungsi Palestina. Hal ini semakin mempersulit situasi Raja Abdullah yang harus mengelola hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat tanpa menyinggung Trump secara langsung.
Dalam pertemuan itu, Trump juga mengingatkan gencatan senjata yang baru tercapai di Gaza bisa berakhir jika kelompok Hamas tidak membebaskan sandera Israel yang masih ditahan. Trump menegaskan tenggat waktu yang ketat, mengatakan jika sandera tidak dibebaskan sebelum Sabtu pukul 12 siang, semua kesepakatan akan batal.
Sementara itu, Raja Abdullah berhati-hati dalam menanggapi tekanan tersebut. Ia memilih untuk menghindari pernyataan yang dapat menyinggung Trump, dengan menegaskan negara-negara Arab memiliki rencana mereka sendiri untuk Gaza. Raja Abdullah juga menekankan Yordania tetap “teguh” dalam posisinya menentang pemindahan Palestina dari Gaza dan Tepi Barat.
Dalam pernyataan yang diposting di media sosial, Raja Abdullah mengungkapkan negara-negara Arab akan segera menyusun rencana untuk membangun kembali Gaza tanpa memindahkan penduduknya. Ia juga memberikan pujian kepada Trump, mengatakan ia melihat potensi untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut melalui kerjasama internasional.
Namun, beberapa pengamat menilai rencana Trump lebih merupakan taktik negosiasi, yang dapat membuka ruang bagi tawaran balasan dari negara-negara Arab. Trump, yang dikenal dengan latar belakangnya di dunia real estat, menyebut Gaza sebagai "permata" yang memiliki potensi besar untuk pembangunan. Namun, kritik terhadap visinya berkembang, mengingat kompleksitas politik kawasan tersebut yang tidak semudah yang ia gambarkan.
Pada akhirnya, Raja Abdullah berusaha menjaga keseimbangan antara menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat dan mempertahankan integritas posisi Yordania dalam permasalahan Palestina. Tantangan diplomatik yang dihadapi Raja Abdullah ini mencerminkan ketegangan yang lebih besar terkait masa depan Gaza dan solusi untuk krisis pengungsi Palestina yang semakin mendalam. (Al Jazeera/Z-3)